Pondok969 – Kenali Gejala Post-Wedding Depression yang Rawan Dialami Pasutri Baru

Image of young Asian woman in the kitchen

Tahukah Bunda kalau pasangan pengantin baru bisa rentan terkena post-wedding depression

Banyak pasangan pengantin baru yang membayangkan masa-masa setelah pernikahan akan penuh kebahagiaan dan kemesraan. Namun tak sedikit pula yang justru mengalami rasa sedih dan kehilangan semangat setelah momen pernikahan selesai.

Kondisi ini dikenal dengan istilah post-wedding depression atau depresi pascamenikah yang sering kali tidak disadari oleh pengantin baru. Gejala yang muncul dapat mengganggu suasana hati, aktivitas sehari-hari, hingga kualitas hubungan rumah tangga jika tidak segera ditangani dengan tepat.

Post-wedding depression bukan berarti pernikahan akan berakhir buruk atau gagal. Namun transisi besar setelah pernikahan, tekanan selama mempersiapkan acara, hingga ekspektasi tinggi akan kehidupan rumah tangga, dapat memicu perasaan depresi pada sebagian orang.




Pasangan baru perlu mengenali gejala post-wedding depression sejak dini agar tidak berdampak pada kesehatan mental dan keharmonisan rumah tangga. Jika gejala tidak ditangani, depresi dapat memengaruhi hubungan suami-istri, menurunkan produktivitas, serta membuat pasangan merasa tidak menikmati masa-masa awal pernikahan yang seharusnya penuh semangat membangun masa depan bersama.

Mengutip Medical News Today, mari pahami apa itu post-wedding depression dan kenali gejala agar bisa segera mengatasinya.

Apa itu post-wedding depression dan penyebabnya?

Post-wedding depression adalah kondisi depresi yang terjadi setelah pernikahan. Ditandai dengan rasa sedih berlarut-larut, kehilangan minat pada aktivitas yang sebelumnya disukai, sulit tidur, atau perubahan nafsu makan setelah acara pernikahan selesai.

Meskipun tidak semua pasangan mengalami kondisi ini, post-wedding depression dapat dialami oleh siapa saja karena adanya transisi besar dalam hidup setelah menikah. Berikut beberapa penyebab Bunda mengalami post-wedding depression.

1. Transisi hidup yang berat

Penelitian menunjukkan bahwa transisi besar dalam hidup, seperti pernikahan dapat memicu depresi. Setelah menikah, Bunda harus beradaptasi dengan kehidupan baru sebagai suami-istri, termasuk pembagian peran rumah tangga, pengelolaan keuangan bersama, hingga dinamika komunikasi sehari-hari.

Rasa kehilangan akan kebebasan atau kehidupan sebelum menikah juga dapat memicu rasa sedih sekaligus kebingungan emosional pada sebagian orang. Selain itu, tekanan dari lingkungan sekitar dan ekspektasi sosial akan kehidupan rumah tangga yang ‘sempurna’ dapat membuat pasangan baru merasa tertekan jika kenyataan tidak sesuai harapan.

Hal tersebut kemudian memunculkan perasaan gagal atau cemas berlebihan yang menjadi pemicu post-wedding depression.

2. Kurangnya waktu untuk merawat diri

Selama proses persiapan pernikahan, pasangan biasanya disibukkan dengan berbagai urusan teknis dan detail acara sehingga sering kali melupakan kebutuhan perawatan diri. Kurang tidur, kelelahan fisik dan mental, serta tidak adanya waktu untuk beristirahat, bisa meningkatkan risiko depresi setelah acara selesai.

Padahal perawatan diri seperti olahraga, makan sehat, tidur cukup, meditasi, atau aktivitas yang menenangkan dapat membantu menjaga kesehatan mental dan menurunkan risiko depresi. Ketika pasangan pengantin baru tidak memiliki waktu untuk melakukan aktivitas ini, stres yang menumpuk selama persiapan pernikahan bisa berlanjut menjadi depresi setelah menikah.

3. Masalah finansial

Biaya pernikahan yang tidak sedikit dapat menimbulkan tekanan finansial sebelum dan setelah menikah. Pengeluaran yang melebihi anggaran, utang akibat biaya pesta, atau munculnya pengeluaran tak terduga dapat memicu stres pada pasangan baru.

Penelitian menunjukkan bahwa stres finansial memiliki kaitan erat dengan risiko depresi. Selain itu, setelah menikah, pengantin baru harus mulai mengelola keuangan bersama yang tidak jarang memicu perbedaan pendapat atau konflik.

Jika tidak dikelola dengan komunikasi yang baik, tekanan finansial ini dapat memperburuk kondisi emosional dan menjadi salah satu penyebab post-wedding depression.

4. Konflik dengan keluarga

Pernikahan sering kali melibatkan keluarga besar dan kondisi ini dapat memperburuk ketegangan yang sebelumnya sudah ada atau memunculkan konflik baru. Ketegangan dengan mertua atau perbedaan pendapat dalam keluarga dapat memicu stres emosional.

Ketika konflik keluarga tidak segera diselesaikan dengan komunikasi terbuka, pasangan bisa merasa terbebani, tertekan, dan kesulitan menikmati momen setelah pernikahan. Hal ini dapat menjadi pemicu munculnya gejala depresi pascamenikah.

Gejala post-wedding depression yang perlu diwaspadai

Gejala post-wedding depression mirip dengan gejala depresi pada umumnya. Beberapa tanda yang perlu diwaspadai, antara lain:

  1. Perasaan sedih berlarut-larut
  2. Kehilangan minat pada aktivitas yang sebelumnya disukai
  3. Mudah marah atau gelisah
  4. Sulit tidur atau tidur berlebihan
  5. Perubahan nafsu makan
  6. Kesulitan berkonsentrasi
  7. Merasa tidak berdaya atau putus asa

Kalau Bunda atau pasangan mengalami gejala-gejala di atas selama beberapa minggu setelah menikah, penting untuk segera mencari bantuan profesional agar segera mendapatkan evaluasi dan penanganan.

Cara mengatasi post-wedding depression

Meskipun post-wedding depression dapat menjadi tantangan bagi pasangan baru, kondisi ini dapat diatasi dengan berbagai cara. Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan.

1. Olahraga secara teratur

Aktivitas fisik seperti berjalan kaki, berenang, atau berlari dapat membantu memperbaiki suasana hati. Olahraga membantu tubuh memproduksi endorfin, hormon yang membantu mengurangi stres dan meningkatkan mood.

2. Teknik relaksasi

Melakukan meditasi, yoga, atau terapi musik dapat membantu mengurangi stres dan kecemasan pasca menikah. Teknik relaksasi membantu menenangkan pikiran dan membuat tubuh lebih rileks.

3. Konseling atau terapi

Terapi bicara seperti cognitive behavioral therapy (CBT) dapat membantu pasangan memahami penyebab emosi negatif dan cara mengatasinya. Konseling juga dapat membantu pasangan baru belajar berkomunikasi dengan baik dalam menghadapi tantangan pernikahan.

4. Perawatan diri

Mengatur pola makan sehat, tidur cukup, serta meluangkan waktu untuk diri sendiri merupakan langkah penting untuk menjaga kesehatan mental. Luangkan waktu bersama pasangan untuk melakukan aktivitas menyenangkan yang dapat membantu memperkuat ikatan emosional.

5. Penanganan medis jika diperlukan

Jika gejala depresi tidak kunjung membaik, konsultasikan dengan dokter untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut, termasuk kemungkinan penggunaan obat antidepresan dengan pengawasan profesional.

Post-wedding depression adalah kondisi nyata yang dapat dialami siapa saja, namun bukan berarti tidak dapat diatasi. Dengan mengenali gejalanya sejak dini, melakukan perawatan diri, berkomunikasi dengan pasangan, serta mencari bantuan profesional jika diperlukan, pasangan baru dapat melewati fase ini dengan lebih baik dan menjaga keharmonisan rumah tangga mereka.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

 

(som/som)

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *